Selasa, 05 Januari 2010
Perpolitikan minyak IRAK suram
Perang saudara sedang mendidih, dan masa depan negeri ini tergantung pada bagaimana kelompok-kelompok sektarian membagi apa yang ada di bawah mereka. [Inilah salah satu sebab mengapa terjadi perpecahan di antara Sunni, Shiah, Kurdi, serta etnis Muslim lain di Irak yang tidak diinginkan umat Islam dan belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka telah benar-benar ‘di-liberte dan di-egalite’ oleh AS dan Sekutunya untuk saling berebut materi duniawi yang tidak bisa mereka dapatkan ketika berada di bawah hegemon tunggal, Saddam. Artikel di bawah ini juga dapat menjadi penjelas atas peristiwa di awal bulan Oktober 2007 terkait motivasi pihak Kongres AS untuk memfederasi Irak dan motivasi Bush Jr. untuk menyatukan Irak: It’s all about Oil and Money Political Strategy]
Dalam perjalanannya yang mengejutkan ke Baghdad pada bulan Oktober, Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice memutuskan untuk berbicara pada para wartawan mengenai minyak. “Kami yakin bahwa minyak harus menguntungkan seluruh rakyat Irak,” ia mengatakan hal ini pada pertemuan dengan media dalam perjalanannya ke ibu kota Irak. Dalam pertemuan-pertemuannya yang bagaikan angin puyuh selama dua hari ke depan, ia menekankan topik minyak berkali-kali, lagi dan lagi, kepada para pemimpin di semua sisi –Sunni, Shiah, dan yang paling penting, Presiden Kurdi Massoud Barzani, yang kepadanya ia menekankan perasaannya bahwa “minyak harus menjadi faktor pemersatu, bukan satu hal yang malah membantu negeri ini menjadi terpecah.” Dengan kata lain: tolong berhentilah bertarung dan mari berbagi (minyak).
Pertarungan sektarian di Irak, pada tingkat yang luar biasa, adalah mengenai isu mendasar pembagian minyak. Masa depan politik negeri itu dan masa depan energinya telah bertemu. Pihak yang menang dalam perkembangan perang saudara ini akan mendapatkan kendali, secara teoretis, atas sekitar $35 milyar per tahun dari minyak saja, yang menjadi 90 persen anggaran belanja Irak. Pihak yang kalah –well, mereka takut bahwa mereka tidak akan mendapatkan apapun sama sekali. Dan kekerasan yang melanda Irak setiap hari berikatan dekat sekali dengan manuver atas kendali minyak di masa depan, sebagaimana korupsi di lapangan perminyakan sangat meraja-lela. Uang minyak yang dikucurkan dari atas dikatakan oleh para pejabat AS sebagai pendanaan kelompok pemberontak.
Semua rencana yang diajukan untuk menyelesaikan konflik, semuanya bergantung pada minyak. Seruan untuk Irak yang berbentuk federasi, dipecah menjadi tiga negara, terhambat oleh ketakutan negara manakah yang akan mendapatkan minyak lebih banyak. Jawabannya sudah sering kita tahu –Shiah di wilayah selatan memiliki lebih dari 80 persen cadangan terjamin minyak Irak. Kurdistan, di Utara, memiliki akses pada ladang-ladang di Kirkuk, yang telah menjadi pemompa minyak semenjak tahun 1920an. Dan Sunni, minoritas yang pernah mendominasi dan mendapat untung dari emas hitam Irak, terjebak di tengah dengan gurun dan jutaan pasir, yang oleh para ahli harapkan di bawahnya ada minyak, tetapi tidak ada ladang di manapun di wilayah tersebut yang bahkan mau dikembangkan.
Minyak harusnya menjadi penyelamat Irak, dengan janji para pejabat pemerintahan Bush bahwa peruntungan dari pendapatan minyak akan digunakan untuk rekonstruksi. Kementrian Minyak-lah yang merupakan satu-satunya gedung pemerintahan yang dijaga mati-matian oleh pasukan AS setelah jatuhnya kota Baghdad.
Tetapi minyak pada akhirnya juga menjadi faktor lain dalam kemunduran Irak yang terjadi dengan cepat. Serangan terus menerus kelompok pemberontak terhadap pipa-pipa minyak dan fasilitas perminyakan –tiga tahun pertama terjadi setidaknya rata-rata satu serangan setiap minggunya– berarti bahwa produksi minyak hanya mencapai tingkat sebagaimana sebelum perang. Irak masih harus mengimpor mayoritas dari minyaknya. Hampir empat tahun perang ini berjalan, dan Irak juga telah memiliki empat orang Menteri Minyak. Sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh ekonom Colin Rowat di University of Birmingham mengungkap bahwa jika anda mengeluarkan faktor bantuan luar negeri, GNP Irak sebenarnya hanya $27 milyar, jauh lebih sedikit dari yang seharusnya, manakala tak terjadi perang. Dan semua faktor tersebut akan mengemuka pada awal tahun 2007, ketika Parlemen Irak diharapkan telah berhasil melegislasi “undang-undang hidrokarbon” Irak yang baru, legislasi yang akan menentukan siapa yang mendapatkan uang minyak sekarang dan siapa yang akan mendapat untung dari penemuan-penemuan ladang minyak pada masa depan.
UU Hidrokarbon, meski krusial, dikepung oleh berbagai manuver mengerikan kelompok sektarian. Setiap pihak telah menulis rancangan undang-undang mereka sendiri –setidaknya ada tiga draft RUU yang saat ini mengemuka– dan draft dari kelompok Kurdi adalah yang paling profesional, kata seorang diplomat Barat yang menjadi penasihat Kementrian Minyak Irak. Barham Salih, seorang Kurdi dan Wakil Presiden Irak yang terlibat di dalam RUU, mengatakan tujuannya adalah untuk menjadikan negara Arab “petro-demokrasi” yang pertama di dunia; Kelompok Kurdi telah memutus perjanjian mandiri antara pemerintahan pusat dengan sebuah perusahaan Norwegia untuk mulai melakukan tes produksi minyak pada perempat awal tahun 2007. Pemain kunci lain yang terlibat dalam penulisan undang-undang –Menteri Keuangan Bayan Jabr– dipandang sebagai salah satu pelanggar sektarian terburuk yang ada. Ia kemudian ditendang ke Kementrian Dalam Negeri Irak pada bulan Juni 2006 karena aktivitas pasukan kematian Shiah semakin menggelembung saat berada di bawah pantauannya.
Pertempuran yang sedang terjadi juga telah menghasilkan sebuah kontroversi besar mengenai apa-apa saja yang BELUM dibelanjakan untuk melakukan investasi besar-besaran ini. Menurut dipolat Barat, pada tahun 2005 hingga 2006 sejumlah $3 milyar tidak dibelanjakan oleh anggaran Kementrian Minyak, dan $4 hingga $5 milyar tidak dibelanjakan pada tahun 2003 hingga 2004. Jabr juga dituduh telah mengkorupsi dana bagi Irak Selatan. “Kami harus mengambil kekuasaannya. Kita harus mencampuri tangan mereka dari kekuasaan,” kata diplomat Barat.
Tentu saja, percekcokan atas hukum perminyakan Irak telah membuat perusahaan-perusahaan minyak internasional terbesar keluar dari negara tersebut. Pejabat AS dan Irak mengatakan bahwa pihak perusahaan adalah kekuatan yang dibutuhkan untuk memperbaikan perminyakan Irak, tetapi tanpa kerangka kerja hukum –yang mereka harapkan dapat disediakan oleh Undang-Undang Hidrokarbon– perusahaan-perusahaan belum berani untuk melakukan investasi yang signifikan. Menurut seorang pejabat AS, yang tidak mau disebut namanya, terdapat setidaknya 43 memorandum of understanding (MoU) yang telah ditandatangani oleh pemerintah Irak dan perusahaan-perusahaan minyak internasional. MoU-MoU tersebut adalah jalan bagi perusahaan untuk menguji suhu Irak dengan sebuah kontrak yang mengatakan, “mari kita bekerja sama pada masa depan,” yang mengijinkan mereka untuk membuat studi-studi teknis mengenai potensi produksi di negara yang memegang cadangan minyak dunia terbesar ketiga, yang kebanyakan darinya belum dikeluarkan.
Perusahaan-perusahaan tersebut, kata diplomat Barat, termasuk semua “big boys,” seperti ExxonMobil, Chevron, dan Total. Ia mngatakan perusahaan-perusahaan minyak telah bekerja bersama pemerintah Irak untuk melakukan analisis independen dan R&D (riset dan pengembangan). British Petroleum (BP) akhir-akhir ini menyerahkan studi kolam depositnya yang dikerjakan selama bertahun-tahun di ladang Rumailah pada perusahaan minyak Irak Southern Oil Corporation. Studi tersebut adalah hasil kerja pertama BP di Irak selama lebih dari 20 tahun. Ladang Rumailah, dipandang sebagai salah satu ladang minyak super dunia, ia masih dapat menghasilkan lebih dari satu juta barrel per hari. Shell saat ini sedang melakukan studi evaluasi di Kirkuk –satu kota yang masih terus menerus terjadi peledakan bom mobil sebagai medan peperangan antara Kelompok etnis Kurdi, Turki, dan Sunni, yang kesemuanya mengklaim kepemilikan kota. “Perusahaan minyak besar sangatlah tertarik,” kata Catherine Hunter, analis energi senior di Global Insight, London. “Tetapi mereka hanya memasukkan jempol mereka saja ke dalam air.”
Pada sebuah perjalanan terakhir ke Jepang untuk memberikan penjelasan dan mendapatkan dukungand ari investor asing, Menteri Minyak Hussein Shahristani mengatakan pada para reporter bahwa perusahaan-perusahaan internasional adalah satu-satunya cara bagi Irak untuk mendapatkan target resmi mereka: Irak bertujuan untuk menarik investasi sebesar $20 milyar dan menaikkan output hingga enam juta barrel per hari pada tahun 2012. Ia mengatakan Irak saat ini memproduksi hanya sedikit di bawah 2,5 juta barrel per hari, tetapi ia lalu menambahkan, “Kami memutuskan untuk menaikkannya pada empat hingga 4,5 juta barrel per hari pada akhir tahun 2010. Tetapi kami juga memutuskan untuk mendapatkan yang lebih dari itu dengan bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan internasional.”
Ia menyalahkan penurunan produksi adalah hasil dari sabotase, tetapi ia juga menyatakan bahwa kementriannya sedang belajar untuk mengatasi hal itu. “Kami telah berusaha untuk memperbaiki hal tersebut (sabotase) dengan tingkat rata-rata 48 jam,” katanya.
Untuk saat ini, Irak terus untuk menaikkan potensi dan posisinya di dalam pasar minyak global. Dengan produksi 2,5 juta barrel per hari, ia hanya berkontribusi sekitar dua persen terhadap produksi global. Minyak Irak mempengaruhi harga minyak global, setidaknya pada perhitungan hari-ke-hari, kata Vera de Ladoucette, senior vice president dari Cambridge Energy Research Associates di Paris. Dan selama lebih dari tiga tahun ini, para pejabat minyak Irak telah terus menerus menaksir terlalu tinggi tentang betapa cepat mereka dapat mengembalikan tingkat produksi mereka. Ya, tidak ada keraguan mengenai potensi masa depan Irak. Para analis mengatakan bahwa negara tersebut dapat berkontribusi hingga delapan persen produksi minyak global pada tahun 2020 JIKA semua berjalan dengan baik –yang berarti semuanya berjalan lebih baik daripada yang terjadi pada tahun 2006. Akan tetapi mungkin itu adalah pengharapan yang terlalu berlebihan. [mungkin karena kondisi dunia tidak akan menjadi lebih baik, dan Khilafah datang sebagai pahlawan yang ditunggu-tunggu, baik oleh rakyat Irak maupun umat Islam sedunia –lihat NIC global predicament 2020]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar